Biografi Sutardji Calzoum Bachri

Biografi Sutardji Calzoum Bachri



 Sutardji Calzoum Bachri dengan sapaan akrab Bung Tardji, lahir di Rengat, Indragiri Hulu, pada tanggal 24 Juni 1941. Sutardji C. Bachri merupakan putra dari pasangan Mohammad Bachri yang berasal dari Prembun, Kutoarjo, Jawa Tengah dan May Calzum yang berasal dari Tanbelan, Riau. Beliau terlahir sebagai anak kelima dari sebelas bersaudara. Sutardji Calzoum Bachri adalah pujangga Indonesia terkemuka. Ia di beri gelar sebagai “Presiden Penyair Indonesia”. Bung Tardji memiliki seorang istri yang bernama Mariham Linda pada tahun 1982 dan dikaruniai seorang anak perempuan bernama Mila Seraiwangi.
Bung Tardji dikenal sebagai sastrawan pelopor puisi kontemporer. “Dalam Puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti kamus dan penjajahan seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor serta penjajahan gramatika. Bila kata dibebaskan, kreativitas pun dimungkinkan. Karena kata-kata menciptakan dirinya sendiri, bermain dengan dirinya sendiri, dan menentukan kemauan dirinya sendiri. Pendadakan kreatif bisa timbul, karena kata yang biasanya dianggap berfungsi sebagai penyalur pengertian tiba-tiba karena kebebasannya bisa menyungsang terhadap fungsinya. Maka timbullah hal-hal yang tidak terduga sebelumnya, yang kreatif.” Itulah yang diungkapkan Sutardji Calzoum Bahri pada dalam kredo puisinya yang terkenal pada tanggal 30 Maret 1973.
Kekontemporeran karya Sutardji Calzoum Bachri semakin dipertegas dengan perkataanya selanjutnya, yaitu, “dalam Puisi saya, kata-kata, saya biarkan bebas dalam gairahnya karena telah menemukan kebebasan, kata-kata meloncat-loncat dan menari-nari diatas kertas, mabuk dan menelanjangi dirinya sendiri, mundar-mandir dan berkali-kali menunjukkan muka dan belakangnya yang mungkin sama atau tak sama, membelah dirinya dengan bebas, menyatukan dirinya sendiri dengan yang lain untuk memperkuat dirinya, membalik dan menyungsangkan dirinya sendiri dengan bebas, saling bertentangan satu sama lainnya karena mereka bebas berbuat semaunya atau bila perlu membunuh dirinya sendiri untuk menunjukkan dirinya menolak dan berontak terhadap pengertian yang dibebankan kepadanya.”
Pada tahun 1947 beliau masuk ke sekolah rakyat (SD) dan selesai pada tahun 1953 di Bengkalis – Pekanbaru. Kemudian ia melanjutkan sekolahnya di Sekolah Menengah Pertama Negeri di Tanjungpinang, Riau. Sutardji Calzoum Bachri mengecap pendidikan tertingginya hingga tingkat doktoral di Fakultas Sosial Politik Jurusan Administrasi Negara, Universitas Padjadjaran, Bandung.
Selain mengikuti pendidikan formal, Sutardji juga turut serta dalam pendidikan nonformal seperti; peserta Poetry Reading International di Rotterdam pada tahun 1974., kemudian mengikutiInternational Writing Program pada tahun 1975 di IOWA City Amerika Serikat selama satu tahun (Okober 1974 – April 1975) bersama Kiai Haji Mustofa Bisri dan Taufiq Ismail. Empat tahun kemudian (1979) Sutardji Calzoum Bahri diangkat sebagai redaktur majalah sastra Horizon, namun setelah beberapa tahun kemudian, ia memutuskan untuk keluar dari Horizon. Kemudian pada tahun 2000-2002 Sutardji Calzoum Bachri menjadi penjaga ruangan seni “Bentara”, khususnya menangani puisi pada harian Kompas. Beliau juga pernah mengikuti penataran P4 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta tahun 1984, dan lulus sebagai peringkat pertama dari 10 orang terbaik.
Awal mula masuknya Sutardji Calzoum Bachri ketika ia mulai menulis dalam surat kabar dan mingguan di Bandung, kemudian sajak-sajaknya dimuat dalam majalah Horison dan Budaya Jaya serta ruang kebudayaan Sinar Harapan dan Berita Buana. Selain itu, Bung Tardji mulai mengirimkan sajak-sajaknya ke koran lokal seperti Pikiran Rakyat di Bandung, dan Haluan di Padang. Sejak saat itulah Sutardji Calzoum Bachri mulai diperhitungkan sebagai penyair di Indonesia.
Dalam mempertunjukkan karyanya kepada pecinta sastra, beliau tidak ragu untuk menunjukkan totalitasnya di atas panggung. Ia juga berusaha ditiap penampilannya untuk tidak hilang kontak dengan penonton. ”Kehadiran sajak itu harus akrab dengan penonton, tak berjarak dengan kehidupan,” begitulah kata Bung Tardji mengenai keakrabannya dengan penonton dalam mempertunjukkan rasa kedekatannya. Ia juga tidak segan memeragakan puisinya hingga berguling-guling di atas panggung. Gayanya yang jumpalitan di atas panggung, bahkan berpuisi sambil tiduran dan tengkurap, seperti telah menempel menjadi trade mark Sutardji. ”Aku tak pernah main-main sewaktu membikin sajak, aku serius. Tapi, ketika tampil aku berusaha apa adanya, santai namun memiliki arti,” katanya.

Karya Sastra Sutardji Calzoum Bachri:
Beberapa karya Puisi Sutardji Calzoum Bachri:

1. O (Kumpulan Puisi, 1973),
2. Amuk (Kumpulan Puisi, 1977), dan
3. Kapak (Kumpulan Puisi, 1979).

Kumpulan puisnya, Amuk, pada tahun 1976/1977 mendapat Hadiah Puisi Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Kemudian pada tahun 1981 ketiga buku kumpulan pusinya itu digabungkan dengan judul O, Amuk, Kapak yang diterbitkan oleh Sinar Harapan.

Selain itu, puisi-puisinya juga dimuat dalam berbagai antologi, antara lain:

1. Arjuna in Meditation (Calcutta, India, 1976),
2. Writing from The Word (USA),
3. Westerly Review (Australia),
4. Dchters in Rotterdam (Rotterdamse Kunststechting, 1975),
5. Ik Wil Nogdulzendjaar Leven, Negh Moderne Indonesische Dichter (1979),
6. Laut Biru, Langit Biru (Jakarta: Pustaka Jaya, 1977),
7. Parade Puisi Indonesia (1990),
8. Majalah Tenggara,
9. Journal of Southeast Asean Lietrature 36 dan 37 (1997), dan
10.Horison Sastra Indonesia: Kitab Puisi (2002).

Sutardji selain menulis puisi juga menulis esai dan cerpen. Kumpulan cerpennya yang sudah dipublikasikan adalah Hujan Menulis Ayam (Magelang, Indonesia Tera:2001). Sementara itu, esainya berjudul Gerak Esai dan Ombak Sajak Anno 2001 dan Hujan Kelon dan Puisi 2002 mengantar kumpulan puisi “Bentara”. Sutardji juga menulis kajian sastra untuk keperluan seminar. Sekarang sedang dipersiapkan kumpulan esai lengkap dengan judul “Memo Sutardji”

Penghargaan:
Penghargaan yang pernah diraihnya adalah:

Hadiah Sastra Asean (SEA Write Award) dari Kerajaan Thailand (1979);
Menerima penghargaan Sastra Kabupaten Kepulauan Riau oleh Bupati Kepulauan Riau (1979);
Anugrah Seni Pemerintah Republik Indonesia (1993);
Menerima Anugrah Sastra Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia Jakarta. (1990an);
Penghargaan Sastra Chairil Anwar (1998), dan
Dianugrahi gelar Sastrawan Perdana oleh Pemerintah Daerah Riau (2001).

Salah satu karya Sutardji Calzoum Bachri

O
Oleh: Sutardji Calzoum Bachri

dukaku dukakau dukarisau dukakalian dukangiau
resahku resahkau resahrisau resahbalau resahkalian
raguku ragukau raguguru ragutahu ragukalian
mauku maukau mautahu mausampai maukalian maukenal maugapai
siasiaku siasiakau siasia siabalau siarisau siakalian siasia
waswasku waswaskau waswaskalian waswaswaswaswaswaswaswaswaswas
duhaiku duhaikau duhairindu duhaingilu duhaikalian duhaisangsai
oku okau okosong orindu okalian obolong o risau o Kau O…

Sumber:
http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/285-ensiklopedi/3624-pembebas-kata-dari-belenggu
http://asiaaudiovisualrb09susilo.wordpress.com/biografi-penyair-indonesia/biografi-sutardji-calzoum-bachri/
http://www.sagangonline.com/index.php?sg=full&id=57&kat=33
http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/lamanbahasa/tokoh/222/Sutardji%20Calzoum%20Bachri
http://www.luqmansastra.com/2010/02/puisi-o-oleh-sutardji-calzoum-bachri.html

Related Posts:

Puisi 1995 Sutardji Calzoum Bahri "TAPI"

TAPI


oleh: Sutardji Calzoum Bachri

aku bawakan bunga padamu
tapi kau bilang masih

aku bawakan resahku padamu
tapi kau bilang hanya

aku bawakan darahku padamu
tapi kau bilang cuma

aku bawakan mimpiku padamu
tapi kau bilang meski

aku bawakan dukaku padamu
tapi kau bilang tapi
aku bawakan mayatku padamu

tapi kau bilang hampir
aku bawakan arwahku padamu

tapi kau bilang kalau
tanpa apa aku datang padamu

wah !

Related Posts:

Biografi Tengku Amir Hamzah

Biografi Tengku Amir Hamzah



Amir Hamzah lahir di Tanjung Pura, Langkat, Sumatra Utara, pada 28 Februari 1911 dan meninggal dunia pada 20 Maret 1946 di Kuala Begumit, Binjai. Nama lengkapnya adalah Tengku Amir Hamzah Pangeran Indrapura yang kemudian disingkat menjadi Tengku Amir Hamzah. Nama Amir Hamzah diberikan oleh sang ayah karena kekagumannya kepada Hikayat Amir Hamzah.

Ayahanda Tengku Amir Hamzah bernama Tengku Muhammad Adil yang bergelar Datuk Paduka Raja. Tengku Muhammad Adil adalah Pangeran (Raja Muda dan Wakil Sultan) untuk Luhak Langkat Hulu yang berkedudukan di Binjai. Ayahanda Tengku Amir Hamzah mempunyai garis kekerabatan dengan Sultan Machmud, penguasa Kesultanan Langkat yang memerintah pada tahun 1927-1941. Berdasarkan silsilah keluarga istana Kesultanan Langkat, Tengku Amir Hamzah adalah generasi ke-10 dari Sultan Langkat. Garis keturunan tersebut memperlihatkan bahwa ia adalah pewaris tahta salah satu kerajaan Melayu, yakni Kesultanan Langkat.

Amir Hamzah menghabiskan masa kecil di kampung halamannya. Oleh teman-teman sepermainannya, Amir kecil biasa dipanggil dengan julukan Tengku Busu atau “tengku yang bungsu”. Said Hoesny, salah seorang karib Amir Hamzah di masa kecilnya, menggambarkan bahwa Amir Hamzah adalah anak laki-laki yang berparas “cantik”. Ia bertubuh semampai, kulitnya kuning langsat, lehernya jenjang, dan perkataannya lemah-lembut. Singkat kata, Amir Hamzah di waktu kecil adalah anak manis yang menjadi kesayangan semua orang.

Amir Hamzah mulai mengenyam pendidikan pada umur 5 tahun dengan bersekolah di Langkatsche School di Tanjung Pura pada 1916. Sekolah ini didirikan oleh Sultan Machmud Abdul Aziz, ayahanda Sultan Machmud, pada 1906. Sebagian besar guru di sekolah Amir Hamzah adalah orang Belanda, hanya ada satu orang saja guru Melayu. Pada mulanya, sekolah ini hanya berupa Sekolah Desa dengan masa tempuh studi 3 tahun, kemudian berubah menjadi Sekolah Melayu dengan masa tempuh studi 5 tahun, dan terakhir menjadi Lanngkatsche School dengan masa tempuh studi 7 tahun.

Setelah tamat dari Langkatsche School, Amir Hamzah melanjutkan pendidikannya di MULO, sekolah tinggi di Medan. Setahun kemudian, Amir Hamzah pindah ke Batavia (Jakarta) untuk melanjutkan sekolah di Christelijk MULO Menjangan. Amir Hamzah lulus dari sekolah itu pada 1927. Amir Hamzah kemudian melanjutkan studinya di AMS (Aglemenee Middelbare School), sekolah lanjutan tingkat atas di Solo, Jawa Tengah. Ia mengambil disiplin ilmu pada Jurusan Sastra Timur. Di Solo, mula-mula Amir Hamzah tinggal di asrama, yakni di kompleks perumahan kediaman KRT Wreksodiningrat yang berlokasi di samping istana Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Kemudian Amir Hamzah tinggal bersama keluarga RT Sutijo Hadinegoro di Nggabelen.

Amir Hamzah adalah seorang siswa yang memiliki kedisiplinan tinggi. Simak kesan Achdiat K Mihardja tentang kedisplinan Amir Hamzah: “Disiplin dan ketertiban itu nampak pula dari keadaan kamarnya. Segalanya serba beres, buku-bukunya rapih tersusun di atas rak, pakaian tidak tergantung di mana saja, dan sprei tempat tidurnya pun licin tidak kerisit kisut. Persis seperti kamar seorang gadis remaja.”

Selama mengenyam pendidikan di Solo, Amir Hamzah mulai mengasah minatnya pada sastra sekaligus obsesi kepenyairannya. Pada waktu-waktu itulah Amir Hamzah mulai menulis beberapa sajak pertamanya yang kemudian terangkum dalam antologi Buah Rindu, terbit pada 1943. Ajip Rosidi memandang puisi-puisi dalam Buah Rindu adalah puisi Amir Hamzah pada masa-masa “latihan kepenyairan”. Demikian pula dengan anggapan Amir Hamzah sendiri bahwa Buah Rindu hanya sebagai latihan sebelum akhirnya ia menulis sajak-sajak sebagaimana yang terangkum dalam Nyanyi Sunyi. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa puisi-puisi dalam Buah Rindu belum menunjukkan kualitas sebagaimana yang terlihat dalam antologi Nyanyi Sunyi.

Pada waktu tinggal di Solo, Amir Hamzah juga menjalin pertemanan dengan Armijn Pane dan Achdiat K Mihardja. Ketiganya sama-sama mengenyam pendidikan di AMS Solo, bahkan mereka satu kelas di sekolah itu. Di kemudian hari, ketiga orang ini mempunyai tempat tersendiri dalam ranah kesusastraan di Indonesia.

Proses kepenulisan Amir Hamzah sewaktu di Solo merupakan proses awal yang menentukan posisi kepenyairannya. Ini adalah proses pembentukan dan pematangan dari seorang Amir Hamzah sebagai manusia. Intensitas proses Amir Hamzah sebagai menusia dan penyair kemudian berlanjut ketika ia meneruskan pendidikannya di Batavia. Dua periode ini merupakan masa proses yang paling kompleks dan intensif dalam kehidupan Amir Hamzah.

Intensitas pergulatan Amir Hamzah dengan berbagai peristiwa kemudian tercermin ke dalam sajak-sajaknya. Bahkan, boleh jadi sajak-sajak Amir Hamzah indentik dengan jalan hidupnya. Kesan seperti ini tidak dapat dihindarkan karena sajak-sajak Amir Hamzah sepertinya secara langsung mencerminkan fakta dan peristiwa empiris dalam kehidupan, perenungan, serta pergulatan dan pencapaiannya di dunia sebagai manusia.

Setelah studinya di Solo pungkas, Amir Hamzah kembali ke Jakarta untuk melanjutkan studi ke Sekolah Hakim Tinggi pada awal tahun 1934. Semasa di Jakarta, kesadaran kebangsaan di dalam jiwa Amir Hamzah kian kuat dan berpengaruh pada wataknya. Meskipun keturunan raja, ia tidak pernah memperlihatkan sikap feodal. Kesadaran kebangsaan dan kerakyatan Amir Hamzah tercermin dari lingkungan pergaulannya, juga dari pekerjaan tambahannya sebagai pengajar di Perguruan Rakyat, lembaga pendidikan yang merupakan bagian dari Taman Siswa, di Jakarta. Bersama beberapa orang rekannya di Perguruan Rakyat, temasuk Soemanang, Soegiarti, Sutan Takdir Alisyahbana, Armijn Pane, dan lainnya, Amir Hamzah menggagas penerbitan majalah Poedjangga Baroe.

Amir Hamzah mulai menyiarkan sajak-sajak karyanya ketika masih tinggal di Solo. Di majalah Timboel yang diasuh Sanusi Pane, Amir Hamzah menyiarkan puisinya berjudul “Mabuk” dan “Sunyi” yang menandai debutnya di dunia kesusastraan Indonesia. Selain itu, sajak-sajaknya juga dipublikasikan di rubrik sastra Panji Pustaka asuhan Sutan Takdir Alisyahbana. Selain menulis sajak, Amir Hamzah juga menulis prosa dan esai tentang kesusastraan. Sajak-sajak Amir Hamzah cenderung terlihat lebih ke gaya sastra Timur.

Sejak dimuat di majalah Timboel, karya sastra Amir Hamzah terus muncul di berbagai media massa, misalnya di majalah Pudjangga Baroe, Pandji Poestaka, dan lain-lain. Nama Amir Hamzah mulai dikenal, dan lingkungan pergaulannya dengan kalangan sastrawan pun mulai berlangsung intensif. Beberapa sastrawan yang semasa dengan Amir Hamzah antara lain Armijn Pane, Sanusi Pane, Sutan Takdir Alisyahbana, Muhamaad Yamin, Suman Hs, JE. Tatengkeng, HB. Jassin, dan lainnya.

Mungkin pencapaian karya sastra Amir Hamzah bukan pencapaian terbaik dari suatu kelompok yang mengkhususkan diri dalam mencari kemudian menemukan semacam puitika yang lain sebagaimana yang terjadi di Barat. Namun begitu, tidak dapat dihindarkan bahwa ada semacam ikatan maupun komitmen para beberapa pemrakarsa majalah Poedjangga Baroe yaitu, Armijn Pane, Sutan Takdir Alisyahbana, dan Amir Hamzah sendiri untuk memajukan bahasa Indonesia. Penerbitan majalah Poedjangga Baroe sendiri juga merupakan perwujudan komitmen hal tersebut.

Amir Hamzah mewariskan dua buah kumpulan sajak karangannya, yaitu Buah Rindu dan Nyanyi Sunyi. Sutan Takdir Alisyahbana mengatakan, banyak pengamat yang menilai bahwa Nyanyi Sunyi bukan hanya merupakan puncak pencapaian kreatif Amir Hamzah, namun juga menjadi salah satu puncak bagi kepenyairan Indonesia. Antologi puisi Nyanyi Sunyi menjadi pemula bagi sajak-sajak kemudian yang membahasakan kesunyian.

Kumpulan sajak Amir Hamzah yang lain, yaitu Buah Rindu, sebenarnya cenderung merupakan semacam catatan biografi. Meskipun buku kumpulan puisi ini terbit lebih belakangan dibanding Nyanyi Sunyi, namun proses penulisannya lebih dahulu dibanding puisi-puisi pada Nyanyi Sunyi. Sajak-sajak dalam kumpulan puisi Nyanyi Sunyi adalah sajak-sajak yang sublim dengan lebih melukiskan pergulatan eksistensial sang penyair. Melalui Nyanyi Sunyi itulah kehidupan menjadi semacam ruang filosofis yang sunyi.

Para peneliti dan kritikus sastra yang menyimpulkan dua hal tentang bahasa puisi Amir Hamzah. Di satu sisi, ia seolah-olah terikat pada bahasa Melayu, namun di sisi lain Amir Hamzah juga sangat bebas ketika memasukkan beberapa kata yang berasal dari bahasa Jawa, Kawi, atau Sansekerta. Ketika membaca sajak-sajak Amir Hamzah, tak jarang pembaca akan menemui beberapa kata yang bukan berasal dari bahasa Melayu, misalnya dewangga, dewala, sura, prawira, estu, ningrum, padma, cendera, daksina, purwa, jampi, sekar, alas, maskumambang, dan lain sebagainya.

Amir Hamzah mewariskan 50 sajak asli, 77 sajak terjemahan, 18 prosa liris, 1 prosa liris terjemahan, 13 prosa, dan 1 prosa terjemahan. Jumlah keseluruhan karya itu adalah 160 tulisan. Jumlah karya tersebut masih ditambah dengan Setanggi Timur yang merupakan puisi terjemahan, dan terjemahan Bhagawat Gita. Dari jumlah itu, ada juga beberapa tulisan yang tidak sempat dipublikasikan.

Revolusi sosial yang meletus pada 3 Maret 1946 menjadi akhir bagi kehidupan Amir Hamzah. Ia adalah korban yang tidak bersalah dari sebuah revolusi sosial pada waktu itu. Pasukan Pesindo menangkapi sekitar 21 tokoh feodal termasuk di antaranya adalah Amir Hamzah yang ditangkap pada 7 Maret 1946. Kemudian, pada dini hari tanggal 20 Maret 1946, orang-orang yang ditangkap itu dihukum mati.



Referensi:

Abrar Yusra, 1996. “Amir Hamzah, Biografi Seorang Penyair”, dalam Abrar Yusra [ed.], 1996. Amir Hamzah 1911-1946 Sebagai Manusia dan Sebagai Penyair. Jakarta: Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin

Related Posts:

Contoh Pantun Jenaka


 Contoh pantun jenaka ke-1

Jalan-jalan ke pinggir empang
Nemu sendok di pinggir empang
Hati siapa tak bimbang
Saya botak minta dikepang

Contoh pantun jenaka ke-2

Ke cimanggis membeli kopiah
Kopiah indah kan kau dapati
Begitu banyak gadis yang singgah
Hanya dinda yang memikat hati


Contoh pantun jenaka ke-3

Jalan-jalan ke kota paris
Banyak rumah berbaris-baris
Biar mati diujung keris
Asal dapat dinda yang manis…

Contoh pantun jenaka ke-4

burung perkutut
burung kutilang
kamu kentut
nggak bilang bilang

Contoh pantun jenaka ke-5

Naik delman ke malaya
jangan lupa bawa pengukur
siapa yang tidak tertawa
lihat sibotak ingin dicukur

Contoh pantun jenaka ke-6

Atas pucuk kayu ara
Lebat daunnya pokoknya rindang
Hilang kedalam bilik nak dara
Cuma meminta rokok sebatang

Contoh pantun jenaka ke-7

Buat apa panen kelapa
Kalau belum tumbuh tunas
Buat apa membeli vespa
Cicilan kompor saja belum lunas

Contoh pantun jenaka ke-8

Ditabur penawar merubah nasib
Nasib baik bukan sebarang
Tafakur elang membaca ratib
Melihat sitikus mengasah parang

Contoh pantun jenaka ke-9

Janda berhias merambah karang
Sirih kuning disangka serai
Melihat tikus mengasah parang
Datang kucing meminta damai

Contoh pantun jenaka ke-10

Sirih kuning disangka serai
Dijemur panas daunnya kering
Melihat kucing meminta damai
Ayam memasak pulut kuning

Contoh pantun jenaka ke-11

Disana gunung, disini gunung,
Ditengah-tengah bunga melati
Saya bingung kamu pun bingung
Kenapa ada bunga melati ???

Contoh pantun jenaka ke-12

Lebih baik warna kuning..
daripada warna ungu..
Lebih baik gigi kuning..
daripada putih tapi palsu..

Contoh pantun jenaka ke-13

Elok sungguh bunga kantil
Tumbuh kearah kolam telaga
Elok sungguh berbini sungil
Walaupun marah tersenyum juga

Contoh pantun jenaka ke-14

Jalan-jalan bersama kakak
Ditengah jalan lihat kepompong
Aku tertawa terbahak-bahak
Melihat kucing makan kedongdong

Contoh pantun jenaka ke-15

Di pinggir kolam makan bubur
Jangan lupa pakai keripik
Dari semalem aye ga bisa tidur
Selalu teringat wajah mu yang cantik

Contoh pantun jenaka ke-16

Limau purut masak di dahan
walau manis tak boleh dimakan
Biar penampilan seperti preman
Yang penting hati beriman

Contoh pantun jenaka ke-17

Malam hari memasak gurita
dicampur cabe dan buah berminyak
Memang kamu cantik jelita
Sayang ketawanya kayak kuntilanak

Contoh pantun jenaka ke-18

Pohon manggis ditepi rawa..
Daun nya kering dimakan kutu..
Adik menangis sambil tertawa..
Ada kambing memakai sepatu..

Contoh pantun jenaka ke-19

Jalan-jalan ke rawa-rawa
Capek duduk di pohon palm
Geli hati menahan tawa
Melihat katak memakai helm

Contoh pantun jenaka ke-20

Mancing dikali dapet banyak
Diambil kucing dalam tempayan
Tahu pake huruf U jadi enak
Kalau pake huruf I jadi gak doyan

Related Posts:

Biografi Emha Ainun Nadjib



Biografi Emha Ainun Nadjib (Cak Nun)




Emha Ainun Nadjib yang akrab dipanggil Cak Nun adalah seorang seniman, budayawan, intelektual muslim, dan juga penulis asal Jombang, Jawa timur. Ia merangkum dan memadukan dinamika kesenian, agama, pendidikan politik dan sinergi ekonomi. Cak Nun lahir di Djombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953. Ia merupakan anak keempat dari 15 bersaudara. Pendidikan formalnya hanya berakhir di Semester 1 Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM). Sebelumnya dia pernah ‘diusir’ dari Pondok Modern Gontor Ponorogo karena melakukan ‘demo’ melawan pemerintah pada pertengahan tahun ketiga studinya, kemudian pindah ke Yogya dan tamat SMA Muhammadiyah I. Istrinya yang sekarang, Novia Kolopaking, dikenal sebagai seniman film, panggung, serta penyanyi.
Emha-Ainun-Nadjib
Biografi Emha Ainun Nadjib Cak Nun dari Biografi Web

Lima tahun hidup menggelandang di Malioboro, Yogyakarta antara 1970-1975 ketika belajar sastra kepada guru yang dikaguminya, Umbu Landu Paranggi, seorang sufi yang hidupnya misterius dan sangat mempengaruhi perjalanan Emha. Selain itu ia juga pernah mengikuti lokakarya teater di Filipina (1980), International Writing Program di Universitas Iowa, Amerika Serikat (1984), Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984) dan Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985).

Dalam kesehariannya, Emha terjun langsung di masyarakat dan melakukan aktivitas-aktivitas yang merangkum dan memadukan dinamika kesenian, agama, pendidikan politik, sinergi ekonomi guna menumbuhkan potensialitas rakyat. Di samping aktivitas rutin bulanan dengan komunitas Masyarakat Padhang mBulan, ia juga berkeliling ke berbagai wilayah nusantara, rata-rata 10-15 kali per bulan bersama Musik Kiai Kanjeng, dan rata-rata 40-50 acara massal yang umumnya dilakukan di area luar gedung. Selain itu ia juga menyelenggarakan acara Kenduri Cinta sejak tahun 1990-an yang dilaksanakan di Taman Ismail Marzuki. Kenduri Cinta adalah forum silaturahmi budaya dan kemanusiaan yang dikemas sangat terbuka, nonpartisan, ringan dan dibalut dalam gelar kesenian lintas gender. Dalam pertemuan-pertemuan sosial itu ia melakukan berbagai dekonstruksi pemahaman atas nilai-nilai, pola-pola komunikasi, metoda perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan solusi-solusi masalah masyarakat.

Bersama Grup Musik Kiai Kanjeng, Cak Nun rata-rata 10-15 kali per bulan berkeliling ke berbagai wilayah nusantara, dengan acara massal yang umumnya dilakukan di area luar gedung. Di samping itu, secara rutin (bulanan) bersama komunitas Masyarakat Padang Bulan, aktif mengadakan pertemuan sosial melakukan berbagai dekonstruksi pemahaman atas nilai-nilai, pola-pola komunikasi, metoda perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan solusi-solusi masalah masyarakat.
Emha Ainun NadjibDalam berbagai forum komunitas Masyarakat Padang Bulan, itu pembicaraan mengenai pluralisme sering muncul. Berkali-kali Cak Nun yang menolak dipanggil kiai itu meluruskan pemahaman mengenai konsep yang ia sebut sebagai manajemen keberagaman itu.

Dia selalu berusaha meluruskan berbagai salah paham mengenai suatu hal, baik kesalahan makna etimologi maupun makna kontekstual. Salah satunya mengenai dakwah, dunia yang ia anggap sudah terpolusi. Menurutnya, sudah tidak ada parameter siapa yang pantas dan tidak untuk berdakwah. “Dakwah yang utama bukan dengan kata-kata, melainkan dengan perilaku. Orang yang berbuat baik sudah berdakwah,” katanya.

Karena itulah ia lebih senang bila kehadirannya bersama istri dan kelompok musik Kiai Kanjeng di taman budaya, maya itu sejak akhir 1970-an, bekerja sama dengan Teater Dinasti — yang berpangkalan di ntuk pelayanan. Pelayanan adalah ibadah dan harus dilakukan bukan hanya secara vertikal, tapi horizontal,” ujarnya.

Dia anak keempat dari 15 bersaudara. Ayahnya, Almarhum MA Lathif, adalah seorang petani. Dia mengenyam pendidikan SD di Jombang (1965) dan SMP Muhammadiyah di Yogyakarta (1968). Sempat masuk Pondok Modern Gontor Ponorogo tapi kemudian dikeluarkan karena melakukan demo melawan pemerintah pada pertengahan tahun ketiga studinya. Kemudian pindah ke SMA Muhammadiyah I, Yogyakarta sampai tamat. Lalu sempat melanjut ke Fakultas Ekonomi UGM, tapi tidak tamat.

Lima tahun (1970-1975) hidup menggelandang di Malioboro, Yogya, ketika belajar sastra dari guru yang dikaguminya, Umbu Landu Paranggi, seorang sufi yang hidupnya misterius dan sangat memengaruhi perjalanan Emha berikutnya.

Karirnya diawali sebagai Pengasuh Ruang Sastra di harian Masa Kini, Yogyakarta (1970). Kemudian menjadi Wartawan/Redaktur di harian Masa Kini, Yogyakarta (1973-1976), sebelum menjadi pemimpin Teater Dinasti (Yogyakarta), dan grup musik Kyai Kanjeng hingga kini. Penulis puisi dan kolumnis di beberapa media.

Ia juga mengikuti berbagai festival dan lokakarya puisi dan teater. Di antaranya mengikuti lokakarya teater di Filipina (1980), International Writing Program di Universitas Iowa, AS (1984), Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984) dan Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985).
Karya Seni Teater Cak Nun

Cak Nun memacu kehidupan multi-kesenian di Yogya bersama Halimd HD, networker kesenian melalui Sanggarbambu, aktif di Teater Dinasti dan mengasilkan beberapa reportoar serta pementasan drama. Di antaranya: Geger Wong Ngoyak Macan (1989, tentang pemerintahan ‘Raja’ Soeharto); Patung Kekasih (1989, tentang pengkultusan); Keajaiban Lik Par (1980, tentang eksploitasi rakyat oleh berbagai institusi modern); Mas Dukun (1982, tentang gagalnya lembaga kepemimpinan modern).

Selain itu, bersama Teater Salahudin mementaskan Santri-Santri Khidhir (1990, di lapangan Gontor dengan seluruh santri menjadi pemain, serta 35.000 penonton di alun-alun madiun). Lautan Jilbab (1990, dipentaskan secara massal di Yogya, Surabaya dan Makassar); dan Kiai Sableng dan Baginda Faruq (1993).

Juga mementaskan Perahu Retak (1992, tentang Indonesia Orba yang digambarkan melalui situasi konflik pra-kerajaan Mataram, sebagai buku diterbitkan oleh Garda Pustaka), di samping Sidang Para Setan, Pak Kanjeng, Duta Dari Masa Depan.

Dia juga termasuk kreatif dalam menulis puisi. Terbukti, dia telah menerbitkan 16 buku puisi: “M” Frustasi (1976); Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (1978); Sajak-Sajak Cinta (1978); Nyanyian Gelandangan (1982); 99 Untuk Tuhanku (1983); Suluk Pesisiran (1989); Lautan Jilbab (1989); Seribu Masjid Satu Jumlahnya ( 1990); Cahaya Maha Cahaya (1991); Sesobek Buku Harian Indonesia (1993); Abacadabra (1994); dan Syair Amaul Husna (1994)

Selain itu, juga telah menerbitkan 30-an buku esai, di antaranya: Dari Pojok Sejarah (1985); Sastra Yang Membebaskan (1985); Secangkir Kopi Jon Pakir (1990); Markesot Bertutur (1993); Markesot Bertutur Lagi (1994); Opini Plesetan (1996); Gerakan Punakawan (1994); Surat Kepada Kanjeng Nabi (1996); Indonesia Bagian Penting dari Desa Saya (1994); Slilit Sang Kiai (1991); Sudrun Gugat (1994); Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (1995); Bola- Bola Kultural (1996); Budaya Tanding (1995); Titik Nadir Demokrasi (1995); Tuhanpun Berpuasa (1996); Demokrasi Tolol Versi Saridin (1997); Kita Pilih Barokah atau Azab Allah (1997);

Iblis Nusantara Dajjal Dunia (1997); 2,5 Jam Bersama Soeharto (1998); Mati Ketawa Cara Refotnasi (1998); Kiai Kocar Kacir (1998); Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah Kebangsaan (1998); Keranjang Sampah (1998); Ikrar Husnul Khatimah (1999); Jogja Indonesia Pulang Pergi (2000); Ibu Tamparlah Mulut Anakmu (2000); Menelusuri Titik Keimanan (2001); Hikmah Puasa 1 & 2 (2001); Segitiga Cinta (2001); “Kitab Ketentraman” (2001); “Trilogi Kumpulan Puisi” (2001); “Tahajjud Cinta” (2003); “Ensiklopedia Pemikiran Cak Nun” (2003); Folklore Madura (2005); Puasa ya Puasa (2005); Kerajaan Indonesia (2006, kumpulan wawancara); Kafir Liberal (2006); dan, Jalan Sunyi EMHA (Ian L. Betts, Juni 2006).
Pluralisme

Cak Nun bersama Grup Musik Kiai Kanjeng dengan balutan busana serba putih, ber-shalawat (bernyanyi) dengan gaya gospel yang kuat dengan iringan musik gamelan kontemporer di hadapan jemaah yang berkumpul di sekitar panggung Masjid Cut Meutia. Setelah shalat tarawih terdiam, lalu sayup-sayup terdengar intro lagu Malam Kudus. Kemudian terdengar syair, “Sholatullah salamullah/ ’Ala thoha Rasulillah/ Sholatullah salamullah/ Sholatullah salamullah/ ’Ala yaasin Habibillah/ ’Ala yaasin Habibillah…”
Emha Ainun Nadjib
Tepuk tangan dan teriakan penonton pun membahana setelah shalawat itu selesai dilantunkan. “Tidak ada lagu Kristen, tidak ada lagu Islam. Saya bukan bernyanyi, saya ber-shalawat,” ujarnya menjawab pertanyaan yang ada di benak jemaah masjid.

Tampaknya Cak Nun berupaya merombak cara pikir masyarakat mengenai pemahaman agama. Bukan hanya pada Pagelaran Al Quran dan Merah Putih Cinta Negeriku di Masjid Cut Meutia, Jakarta, Sabtu (14/10/2006) malam, itu ia melakukan hal-hal yang kontroversial. Dalam berbagai komunitas yang dibentuknya, oase pemikiran muncul, menyegarkan hati dan pikiran.

Perihal pluralisme, sering muncul dalam diskusi Cak Nun bersama komunitasnya. “Ada apa dengan pluralisme?” katanya. Menurut dia, sejak zaman kerajaan Majapahit tidak pernah ada masalah dengan pluralisme.

“Sejak zaman nenek moyang, bangsa ini sudah plural dan bisa hidup rukun. Mungkin sekarang ada intervensi dari negara luar,” ujar Emha. Dia dengan tegas menyatakan mendukung pluralisme. Menurutnya, pluralisme bukan menganggap semua agama itu sama. Islam beda dengan Kristen, dengan Buddha, dengan Katolik, dengan Hindu. “Tidak bisa disamakan, yang beda biar berbeda. Kita harus menghargai itu semua,” tutur budayawan intelektual itu.

Referensi:
http://selebriti.kapanlagi.com/indonesia/e/emha_ainun_nadjib/
http://id.wikipedia.org/wiki/Emha_Ainun_Nadjib
http://bio.or.id

Related Posts:

Biografi Chairil Anwar

Sang Pujangga


Chairil Anwar adalah seorang penyair legendaris yang dikenal juga sebagai “Si Binatang Jalang” (dalam karyanya berjudul “Aku”). Salah satu bukti keabadian karyanya, pada Jumat 8 Juni 2007, Chairil Anwar, yang meninggal di Jakarta, 28 April 1949, masih dianugerahi penghargaan Dewan Kesenian Bekasi (DKB) Award 2007 untuk kategori seniman sastra. Penghargaan itu diterima putrinya, Evawani Alissa Chairil Anwar.
chairil-anwar
Biografi Chairil Anwar dari Biografi Web

Chairil Anwar dilahirkan di Medan, 26 Julai 1922. Chairil Anwar merupakan anak tunggal. Ayahnya bernama Toeloes, mantan bupati Kabupaten Indragiri Riau, berasal dari Taeh Baruah, Limapuluh Kota, Sumatra Barat. Sedangkan ibunya Saleha, berasal dari Situjuh, Limapuluh Kota. Dia masih punya pertalian keluarga dengan Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia. Dia dibesarkan dalam keluarga yang cukup berantakan. Kedua ibu bapanya bercerai, dan ayahnya menikah lagi. Selepas perceraian itu, saat habis SMA, Chairil mengikut ibunya ke Jakarta.

Chairil masuk sekolah Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi waktu masa penjajahan Belanda. Dia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), sekolah menengah pertama Hindia Belanda, tetapi dia keluar sebelum lulus. Dia mulai untuk menulis sebagai seorang remaja tetapi tak satupun puisi awalnya yang ditemukan.

Pada usia sembilan belas tahun, setelah perceraian orang-tuanya, Chairil pindah dengan ibunya ke Jakarta di mana dia berkenalan dengan dunia sastra. Meskipun pendidikannya tak selesai, Chairil menguasai bahasa Inggris, bahasa Belanda dan bahasa Jerman, dan dia mengisi jam-jamnya dengan membaca karya-karya pengarang internasional ternama, seperti: Rainer M. Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsman, J. Slaurhoff dan Edgar du Perron. Penulis-penulis ini sangat mempengaruhi tulisannya dan secara tidak langsung mempengaruhi puisi tatanan kesusasteraan Indonesia.

Semasa kecil di Medan, Chairil sangat dekat dengan neneknya. Keakraban ini begitu memberi kesan kepada hidup Chairil. Dalam hidupnya yang amat jarang berduka, salah satu kepedihan terhebat adalah saat neneknya meninggal dunia. Chairil melukiskan kedukaan itu dalam sajak yang luar biasa pedih:
Chairil Anwar

    “Bukan kematian benar yang menusuk kalbu

    Keridlaanmu menerima segala tiba

    Tak kutahu setinggi itu atas debu

    Dan duka maha tuan bertahta”

Sesudah nenek, ibu adalah wanita kedua yang paling Chairil puja. Dia bahkan terbiasa menyebut nama ayahnya, Tulus, di depan sang Ibu, sebagai tanda menyebelahi nasib si ibu. Dan di depan ibunya, Chairil acapkali kehilangan sisinya yang liar. Beberapa puisi Chairil juga menunjukkan kecintaannya pada ibunya.

Sejak kecil, semangat Chairil terkenal kedegilannya. Seorang teman dekatnya Sjamsul Ridwan, pernah membuat suatu tulisan tentang kehidupan Chairil Anwar ketika semasa kecil. Menurut dia, salah satu sifat Chairil pada masa kanak-kanaknya ialah pantang dikalahkan, baik pantang kalah dalam suatu persaingan, maupun dalam mendapatkan keinginan hatinya. Keinginan dan hasrat untuk mendapatkan itulah yang menyebabkan jiwanya selalu meluap-luap, menyala-nyala, boleh dikatakan tidak pernah diam.
Masa Dewasa Chairil Anwar

Nama Chairil mulai terkenal dalam dunia sastera setelah pemuatan tulisannya di “Majalah Nisan” pada tahun 1942, pada saat itu dia baru berusia dua puluh tahun. Hampir semua puisi-puisi yang dia tulis merujuk pada kematian. Chairil ketika menjadi penyiar radio Jepang di Jakarta jatuh cinta pada Sri Ayati tetapi hingga akhir hayatnya Chairil tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya. Puisi-puisinya beredar di atas kertas murah selama masa pendudukan Jepang di Indonesia dan tidak diterbitkan hingga tahun 1945.

Semua tulisannya yang asli, modifikasi, atau yang diduga diciplak dikompilasi dalam tiga buku : Deru Campur Debu (1949); Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus (1949); dan Tiga Menguak Takdir (1950, kumpulan puisi dengan Asrul Sani dan Rivai Apin).

Chairil memang penyair besar yang menginspirasi dan mengapresiasi upaya manusia meraih kemerdekaan, termasuk perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari penjajahan. Hal ini, antara lain tercermin dari sajaknya bertajuk: “Krawang-Bekasi”, yang disadurnya dari sajak “The Young Dead Soldiers”, karya Archibald MacLeish (1948).

Dia juga menulis sajak “Persetujuan dengan Bung Karno”, yang merefleksikan dukungannya pada Bung Karno untuk terus mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945.

Bahkan sajaknya yang berjudul “Aku” dan “Diponegoro” juga banyak diapresiasi orang sebagai sajak perjuangan. Kata Aku binatang jalang dalam sajak Aku, diapresiasi sebagai dorongan kata hati rakyat Indonesia untuk bebas merdeka.

Chairil Anwar yang dikenal sebagai “Si Binatang Jalang” (dalam karyanya berjudul Aku) adalah pelopor Angkatan ’45 yang menciptakan trend baru pemakaian kata dalam berpuisi yang terkesan sangat lugas, solid dan kuat. Dia bersama Asrul Sani dan Rivai Apin memelopori puisi modern Indonesia. Chairil Anwar meninggal dalam usia muda karena penyakit TBC dan dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Hari meninggalnya diperingati sebagai Hari Chairil Anwar.

Chairil menekuni pendidikan HIS dan MULO, walau pendidikan MULO-nya tidak tamat. Puisi-puisinya digemari hingga saat ini. Salah satu puisinya yang paling terkenal sering dideklamasikan berjudul Aku ( “Aku mau hidup Seribu Tahun lagi!”). Selain menulis puisi, ia juga menerjemahkan karya sastra asing ke dalam bahasa Indonesia. Dia juga pernah menjadi redaktur ruang budaya Siasat “Gelanggang” dan Gema Suasana. Dia juga mendirikan “Gelanggang Seniman Merdeka” (1946).

Rakannya, Jassin pun punya kenangan tentang Chairil Anwar. “Kami pernah bermain bulu tangkis bersama, dan dia kalah. Tapi dia tak mengakui kekalahannya, dan mengajak bertanding terus. Akhirnya saya kalah. Semua itu kerana kami bertanding di depan para gadis.”

Wanita adalah dunia Chairil sesudah buku. Tercatat nama Ida, Sri Ayati, Gadis Rasyid, Mirat, dan Roosmeini sebagai gadis yang dikejar-kejar Chairil. Dan semua nama gadis itu bahkan masuk ke dalam puisi-puisi Chairil. Namun, kepada gadis Karawang, Hapsah, Chairil telah menikahinya.

Pernikahan itu tak berumur panjang. Disebabkan kesulitan ekonomi, dan gaya hidup Chairil yang tak berubah, Hapsah meminta cerai. Saat anaknya berumur 7 bulan, Chairil pun menjadi duda.
Akhir Hidup Chairil Anwar

Vitalitas puitis Chairil tidak pernah diimbangi kondisi fisiknya, yang bertambah lemah akibat gaya hidupnya yang semrawut. Sebelum dia bisa menginjak usia dua puluh tujuh tahun, dia sudah kena sejumlah penyakit. Chairil Anwar meninggal dalam usia muda karena penyakit TBC Dia dikuburkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Makamnya diziarahi oleh ribuan pengagumnya dari zaman ke zaman. Hari meninggalnya juga selalu diperingati sebagai Hari Chairil Anwar.
Chairil Anwar Kumpulan puisinya antara lain: Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus (1949); Deru Campur Debu (1949); Tiga Menguak Takdir (1950 bersama Asrul Sani dan Rivai Apin); Aku Ini Binatang Jalang (1986); Koleksi sajak 1942-1949″, diedit oleh Pamusuk Eneste, kata penutup oleh Sapardi Djoko Damono (1986); Derai-derai Cemara (1998). Buku kumpulan puisinya diterbitkan Gramedia berjudul Aku ini Binatang Jalang (1986).

Karya-karya terjemahannya adalah: Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948, Andre Gide); Kena Gempur (1951, John Steinbeck).

Sementara karya-karyanya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Jerman dan Spanyol adalah: “Sharp gravel, Indonesian poems”, oleh Donna M. Dickinson (Berkeley, California, 1960); “Cuatro poemas indonesios, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Walujati” (Madrid: Palma de Mallorca, 1962); Chairil Anwar: Selected Poems oleh Burton Raffel dan Nurdin Salam (New York, New Directions, 1963); “Only Dust: Three Modern Indonesian Poets”, oleh Ulli Beier (Port Moresby [New Guinea]: Papua Pocket Poets, 1969);

The Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Burton Raffel (Albany, State University of New York Press, 1970); The Complete Poems of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Liaw Yock Fang, dengan bantuan HB Jassin (Singapore: University Education Press, 1974); Feuer und Asche: sämtliche Gedichte, Indonesisch/Deutsch oleh Walter Karwath (Wina: Octopus Verlag, 1978); The Voice of the Night: Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, oleh Burton Raffel (Athens, Ohio: Ohio University, Center for International Studies, 1993)

Sedangkan karya-karya tentang Chairil Anwar antara lain:

    Chairil Anwar: memperingati hari 28 April 1949, diselenggarakan oleh Bagian Kesenian Djawatan Kebudajaan, Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan (Djakarta, 1953);
    Boen S. Oemarjati, “Chairil Anwar: The Poet and his Language” (Den Haag: Martinus Nijhoff, 1972);
    Abdul Kadir Bakar, “Sekelumit pembicaraan tentang penyair Chairil Anwar” (Ujung Pandang: Lembaga Penelitian dan Pengembangan Ilmu-Ilmu Sastra, Fakultas Sastra, Universitas Hasanuddin, 1974);
    S.U.S. Nababan, “A Linguistic Analysis of the Poetry of Amir Hamzah and Chairil Anwar” (New York, 1976);
    Arief Budiman, “Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan” (Jakarta: Pustaka Jawa, 1976);
    Robin Anne Ross, Some Prominent Themes in the Poetry of Chairil Anwar, Auckland, 1976;
    H.B. Jassin, “Chairil Anwar, pelopor Angkatan ’45, disertai kumpulan hasil tulisannya”, (Jakarta: Gunung Agung, 1983);
    Husain Junus, “Gaya bahasa Chairil Anwar” (Manado: Universitas Sam Ratulangi, 1984);
    Rachmat Djoko Pradopo, “Bahasa puisi penyair utama sastra Indonesia modern” (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985);
    Sjumandjaya, “Aku: berdasarkan perjalanan hidup dan karya penyair Chairil Anwar (Jakarta: Grafitipers, 1987);
    Pamusuk Eneste, “Mengenal Chairil Anwar” (Jakarta: Obor, 1995);
    Zaenal Hakim, “Edisi kritis puisi Chairil Anwar” (Jakarta: Dian Rakyat, 1996).

Referensi:

http://penyair.wordpress.com/2007/02/05/biografi-chairil-anwar-1922-1949/
http://id.wikipedia.org/wiki/Chairil_Anwar
http://www.eramuslim.net/?buka=show_biografi&id=19
http://bio.or.id

Related Posts:

Padamu Jua puisi Amir Hamzah




PADAMU JUA

Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu

Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu

Satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa

Di mana engkau
Rupa tiada
Suara senyap
Hanya kata merangkai hati

Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas

Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara di balik tirai

Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu bukan giliranku
Mati hari bukan kawanku….

(Amir Hamzah)

Related Posts: